W.A. Bonger menyatakan bahwa demokrasi bukan
semata-mata bentuk ketatanegaraan saja tetapi juga merupakan bentuk kegiatan
organisasi di luar ketatanegaraan, misalnya yang terdapat dalam dunia
perkumpulan yang merdeka. Demokrasi dalam perkumpulan di luar ketatanegaraan
adalah suatu bentuk pimpinan, suatu kolektivitet tanpa mempersoalkan
apakah itu suatu pergaulan hidup paksaan seperti negara atau sutu perkumpulan
yang merdeka. Sedangkan demokrasi dalam ketatanegaraan adalah suatu bentuk
pemerintahan.[1] Atau dapat pula dikatakan sebagai suatu
sistem politik yang seringkali dipertentangkan dengan otoriterianisme.
Zaman Yunani
kuno, ada pendapat bahwa bentuk ketatanegaraan demokrasi adalah pemerintahan
berbentuk republik,[2] sedangkan bentuk pemerintahan monarki
bukanlah pemerintahan demokrasi. Hal ini dianggap lebih tepat menurut para
pendukungnya, karena menunjuk pada suatu sistem pemerintahan oleh para wakil
yang dipilih melalui pemilihan atau lebih tepatnya menunjuk pada satu tipe
demokrasi, yaitu demokrasi langsung (direct democracy).
Pendapat
demikian, saat ini tidak dapat dijadikan lagi sebagai alat ukur atau indikator
penilaian demokratis atau tidaknya suatu pemerintahan. Karena dalam praktek dan
kenyataannya tidak sedikit negara dengan bentuk pemerintahan republik memerintah
secara otoriter dan totaliter, dan tidak sedikit pula negara dengan bentuk
pemerintahan kerajaan (monarchy) memerintah dengan cara-cara yang bijak dan aspiratif.
Berdasarkan
kenyataan-kenyataan tersebut diatas, muncul pemikiran baru tentang negara
demokrasi, yaitu adanya partisipasi masyarakat dalam berbagai bentuk proses
pembuatan kebijakan negara.
Dalam praktek
ketatanegaraan dunia saat ini, tidak ditemukan lagi adanya negara yang
mengklaim bahwa negara tersebut bukanlah negara demokrasi, terlepas dari bentuk
negara, bentuk pemerintahan, maupun sistem pemerintahan yang dianut.
A.
Defenisi Demokrasi
Pengertian demokrasi dalam tinjauan bahasa (etimology)
baik asal kata maupun asal bahasanya adalah gabungan dari dua kata dalam bahasa
Yunani, yaitu “Demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu wilayah,
dan “Cratein” atau “Cratos”
yang berarti pemerintahan atau pemerintahan/otoritas, Sehingga demokrasi
sederhananya mengandung arti berarti pemerintahan rakyat atau
kedaulatan/otoritas rakyat[3].
Demokrasi dalam konsep ilmu pengetahuan modern, khususnya dalam kajian politik
dan hukum ketatanegaraan pertama kali dilaksanakan di negara Athena yang berbentuk
polis, dimana dalam pelaksanaan pemerintahan yang berhubungan dengan
kepentingan-kepentingan umum (public), masyarakat dilibatkan dalam
kebijakan pengambilan keputusan. Ciri utama pemerintahan demokrasi Athena ini
adalah adanya partisifasi atau keterlibatan langsung masyarakat dalam
pemerintahan, tanpa melihat apakah masyarakat yang dilibatkan tersebut mengerti
atau tidak. Jadi titik sentral dari pemerintahan demokrasi saat itu adalah
partisifasi masyarakat dalam bidang-bidang pemerintahan sebagai dampak dari
kedaulatan rakyat.
Mengingat kedaulatan itu melekat pada diri
orang untuk mengatur dan mempertahankan dirinya, serta mengingat rakyat itu
bukan pula satu atau dua orang, tetapi merupakan gabungan atau kumpulan dari
orang-orang yang secara sadar bergabung untuk mengatur diri mereka, maka
kedaulatan itu pun kemudian digabung pula. Kedaulatan rakyat ini pun bukan untuk melindungi sebagian rakyat dan
menindas sebagian yang lain. Tetapi untuk melindungi keseluruhan rakyat dalam
wilayah kedaulatan negara, sesuai dengan tujuan negara sebagaimana tercantum
dalam konstitusi.
Dalam menjalankan pemerintahan demokrasi, masing-masing negara tidaklah
sama. Setiap negara mengklaim bahwa sistem penyelenggaraan pemerintahaan atau
sistem politik yang mereka bangun adalah demokrasi. Indonesia merupakan negara
yang mendasarkan kedaulatannya atas dasar kedaulatan rakyat disamping atas
dasar kedaulatan hukum. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 ayat (2)
UUD NRI Tahun 1945 sebelum perubahan, “Kedaulatan ialah di tangan rakyat dan
dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” dan bandingkan
dengan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 setelah perubahan “Kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Ruslan Abdulgani
mengutip dari buku Sejarawan Yunani Thucidides “History of the
Peloponnesian War” yang juga mengutip ucapan beberapa negarawan dan ilmuwan
Yunani memberikan penjelasan tentang arti materiil dari demokrasi, diantaranya:[4]
1.
Pericles, “Our constitution is named a
democracy because it is in the hands not of the few, but of the many”
(Konstitusi kita dinamakan demokrasi, karena kekuasaan tidak ditangan
segolongan kecil, tapi ditangan banyak rakyat).
2.
Athenagores, “I say first, that the word
demos, or people, include the whole state, oligarchy only a part; next, that if
the best guardians of property are the richt, and the best counselors the wise,
none can hear and decide so well as the many; and that all these talents, severally
and collectively, have their just place in a democracy” (Bagi saya, pertama,
kata demos atau rakyat mencakup seluruh negara, oligarki hanya sebagian. Kedua,
apabila orang-orang kaya adalah penjaga yang terbaik bagi harta milik, dan
orang-orang arif pandai adalah penasehat-penasehat terbaik, tapi tidak ada yang
mengalahkan orang banyak dalam kearifan mendengar dan memutuskan. Semua
kepandaian, bakat, dan akal budi itu, secara sendiri-sendiri dan kolektif,
mempunyai tempat yang adil wajar dalam demokrasi)
Herts dalam bukunya Political Realism and Political Idealism
sebagaimana dikutip oleh Sukarna dalam buku Sistem Politik, menyebutkan
bahwa “Democracy is a form of government in which no one member, has
political prerogative over any other. Government thus the rule of all over all
in the common, as opposed to the individual or separate group interest),[5] yang
berarti bahwa “Demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana tidak satu orangpun anggota
(rakyat/kelompoknya), mempunyai hak prerogatif politik terhadap anggota
(rakyat/kelompoknya) lainnya. Pemerintahan adalah dilakukan dengan aturan oleh
keseluruhan anggota (rakyat/kelompoknya) untuk keseluruhan masyarakat, sebagai
suatu penentangan terhadap kepentingan perseorangan atau kelompok terpisah.
Josefh A. Schmeter
menyebutkan, “demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk
mencapai suatu keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan
untuk menentukan dan memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atas suara
rakyat”, sedangkan Sidney Hook, menyebutkan “demokrasi sebagai bentuk
pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung
atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara
bebas dari rakyat dewasa”, adapun Philippe C. Schmiiter dan Terry
Lynn Karl menyebutkan bahwa “demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan
dimana pemerintah dimintai pertanggungjawaban atas tindakan-tindakan mereka di
wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui
kompetisi dan kerjasama para wakil mereka yang telah terpilih”.[6]
Pendapat lain menyebutkan bahwa demokrasi bukan sebagai suatu jenis
organisasi, tetapi sebagi suatu keadaan tertentu dari kemakmuran, bukan sebagai
cara memproduksi, tetapi sebagi suatu hasil produksi. Menurut Braybroooks,
demokrasi adalah hasil dari segala sesuatu yang diinginkan: “personal right,
human welfare, collective preference”. Ini adalah juga konsepsi
marxis-leninis dari demokrasi. Suatu perekonomian seperti perekonomian Soviet
disebut demokrasi rakyat, karena produksi dianggap mengabdi pada seluruh
rakyat.[7]
Dari pendapat para ahli di atas terdapat benang merah atau titik singgung
tentang pengertian demokrasi, yaitu rakyat sebagai pemegang kekuasaan, pembuat
dan penentu keputusan dan kebijaksanaan tertinggi dalam penyelenggaran negara
dan pemerintahan serta pengontrol terhadap pelaksanaan kebijakannya baik yang
dilaksanakan secara langsung oleh rakyat atau mewakilimya melalui lembaga
perwakilan. Karena itu negara yang
menganut sistem demokrasi diselengarakan berdasarkan kehendak dan kemauan
rakyat mayoritas serta tidak mengesampingkan rakyat minoritas.
Moh. Mahfud MD
menyatakan bahwa negara yang negara yang menganut asas demokrasi, maka
kekuasaan pemerintah berada di tangan rakyat. Pada negara yang menganut
asas demokrasi ini didalamnya mengandung unsur; pemerintahan dari rakyat (government
of the people), pemerintahan oleh rakyat (government by the people),
dan pemerintahan untuk rakyat (government for the people).[8]
B.
Sejarah dan Perkembangan Demokrasi
Demokrasi sebagai suatu konsep dan pemikiran
pada dasarnya dimulai dengan lahir dan berkembang di Yunani Kuno, yaitu dengan
pencetusan gagasan (idea) pada tahun 431 SM oleh seorang filosof besarnya
Pericles. Beberapa filosof lain setelahnya baik di Yunani sendiri maupun
di Romawi seperti;[9]
Plato (429-347 SM), Aristoteles (384-322 SM), Polybius
(204-122 SM), dan Cicero (106-43 SM) turut pula menyempurnakan konsep ini. Meskipun
sedemikian tuanya konsep dan pemikiran ini dalam prakteknya selama ratusan
tahun, tidak tertalu menarik perhatian untuk dipraktekkan dalam pemerintahan
dan kenegaraan.
Sejarah dan perkembangan demokrasi
berikutnya ditandai dengan munculnya aufklarung dan renaissance
di dunia barat pada abad pertengahan setelah sedemikian lama berada dalam
masa-masa kegelapan (the dark ages) dalam bayang-bayang kekuasaan mutlak
(absolute power) gereja dan kerajaan.
Lahirnya para filosof seperti, Niccolo
Machiaveli (1467-1527), Thomas Hobbes (1588-1679), Jhon Locke
(1632-1704), Montesquea (1689-1755), Jean Jackues (J.J)
Rousseau (1712-1778), dan lain sebagainya yang mengusung pemikiran
demokrasi sebagai reaksi atas kesewenang-wenangan raja turut pula memunculkan
kembali (reborn) tentang pentingnya penerapan demokrasi beserta
prinsip-prinsipnya dalam berbagai sisi kehidupan, utamanya kehidupan bernegara.
Revolusi Perancis pada tahun 1778 yang
terkenal dengan semboyan, “kebebasan, persaudaraan, dan persamaan” yang dalam
bahasa Perancisnya dikenal dengan, “liberte, fraternite, eyahte”
merupakan tonggak utama penerapan dcemokrasi di daratan eropa. Hal ini
disebabkan karena Perancis dengan secara sadar memasukkan demokrasi ke dalam
undang-undang dasarnya di bawah judul atau bab tentang hak-hak asasi manusia,
pada Pasal 3, “Rakyat adalah sumber dan gudang kekuasaan”. Setiap lembaga atau
individu yang memegang kekuasaan, tidak lain mengambil kekuasannya dari rakyat.
Berikutnya, ketentuan pasal tersebut dimuat kembali pada perubahan
Undang-Undang Dasar Tahun 1791, dimana disebutkan bahwa tahta kepemimpinan
adalah milik rakyat.
C.
Proposisi Memilih Demokrasi
Robert A. Dahl dalam bukunya “On Democracy”,
menyebutkan terdapat 10 (sepuluh) proposisi mengapa harus memilih demokrasi:[10]
1. demokrasi mencegah sistem pemerintahan
yang keji dan sewenang-wenang;
2. demokrasi menjamin hak-hak fundamental
warga negaranya, yang oleh sistem lain sering dikesampingkan;
3. demokrasi lebih menjamin kebebasan warga
negara;
4. demokrasi membantu warga negaranya
melindungi kepentingan fundamentalnya;
5. demokrasi memberikan kesempatan lebih luas
bagi warganya untuk menentukan nasib sendiri, hidup sesuai pilihannya
berdasarkan hukum;
6. demokrasi melakukan tanggung jawab moral;
7.
demokrasi menjamin perkembangan kemanusiaan;
8. demokrasi
menjamin kesetaraan politik yang
lebih tinggi atas warganya;
9. demokrasi suka menghindari perang terhadap
negara lain; dan
10. demokrasi
cenderung lebih makmur.
Beetham dan Boyle, menyatakan minimum
terdapat 5 (lima) alasan mengapa demokrasi harus dipilih dan dijunjung tinggi,
yaitu: pertama, adanya kesetaran antara warganegara; kedua, adanya pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan umum; ketiga, adanya pluralisme dan kompromi; keempat,
adanya jaminan terhadap hak-hak dasar; dan kelima, adanya pembauran kehidupan
sosial.[11]
Amien Rais dalam pengantar buku Demokrasi dan Proses
Politik, seperti dikutip oleh Umaruddin Masdar menyebutkan ada tiga
asumsi yang membuat demokrasi diterima secara luas di dunia. Pertama,
demokrasi tidak saja merupakan bentuk vital dan terbaik pemerintahan yang
mungkin diciptakan, tetapi juga merupakan suatu doktrin politik luhur yang akan
memberikan manfaat bagi kebanyakan negara. Kedua, dsemokrasi
sebagai sistem politik dan pemerintahan dianggap mempunyai akar sejarah yang
panjang sampai ke zaman Yunani Kuno, sehingga ia tahan bantingan zaman dan dapat
menjamin terselenggaranya suatu lingkungan politik yang stabil. Ketiga,
demokrasi dipandang sebagai sistem yang paling alamiah dan manusiawi sehingga
semua rakyat dinegara manapun akan memilih demokrasi bila mereka diberi
kebebasan untuk melakukan pilihannya.[12]
Moh. Mahfud MD, menyebutkan setidaknya terdapat
dua alasan mengapa demokrasi dijadikan sebagai dasat dalam penyelenggaraan
negara atau pemerintahan, Pertama, hampir semua negara di dunia
ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas yang fundamental; Kedua,
demokrasi sebagai asas kenegaraan yang secara esensial telah memberikan arah
bagi peranan masyarakat untuk menyelenggaraakan negara sebagai organisasi
tertingginya.[13]
D.
Prinsip-prinsip Demokrasi
Penggunaan kata prinsip, untuk menjelaskan indikator atau prasyarat yang
harus dipenuhi bagi kualifikasi demokratis atau tidaknya suatu negara antara
pemikir satu dengan lainnya tidaklah sama, sebagian lagi menggunakan istilah
unsur-unsur. Disamping adanya perbedaan istilah yang dipakai, perbedaan lain
juga dapat dilihat dari jumlah unsur atau prinsip yang ditawarkan.
Menurut Sukarna, dalam
suatu negara demokrasi harus memenuhi prinsip, prinsip sebagai berikut, yaitu:[14]
1. Pembagian kekuasaan: kekuasaan legislatif,
eksekutif dan yudikatif berada pada badan yang berbeda.
2.
Pemerintahan konstitusionil.
3.
Pemerintahan berdasarkan hukum.
4.
Pemerintahan mayoritas.
5.
Pemerintahan dengan dialog.
6.
Pemilihan umum yang bebas.
7. Partai politik lebih dari satu dan
menjalankan fungsinya, yaitu:
a.
mencalonkan kandidat;
b.
membina pendapat masyarakat;
c.
menarik rakyat untuk memilih;
d.
mengkritik penguasa;
e. memilih orang-oramg yang akan diangkat
dalam pemerintahan;
f.
melakukan pendidikan politik;
g.
memilih pemimpi-pemimpin politik;
h.
memadukan pemikiran-pemikiran politik;
i.
melakukan sosialisasi politik;
j.
menyelesaikan perselisihan-perselisihan;
k.
mempersatukan pemerintahan; dan
l.
mempertanggungjawabkan pemerintahan.
8.
Manajemen terbuka (tranfarancy):
a. ikut sertanya masyarakat dalam urusan
pemerintahan;
b.
mempertanggungjawabkan pemerintah terhadap rakyat;
c. adanya dukungan rakyat terhadap
pemerintah; dan
d. adanya pengawasan rakyat terhadap
pemerintah.
9.
Pers yang bebas.
10. Pengakuan terhadap hak-hak minoritas.
11. Perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia.
12. Peradilan yang bebas dan tidak memihak.
13. Pengawasan
terhadap adminisdtrasi negara.
14. Mekanisme politik yang berubah antara
kehidupan politik masyarakat dan kehidupan politik pemerintah.
15. Kebijaksanaan negara dibuat oleh badan
perwakilan politik tanpa paksaan dari badan lain.
16. Penempatan pejabat-pejabat dalam
pemerintahan dengan merit system bukan spoil system.
17. Penyelesaiaan perpecahan secara damai atau
secara kompromi.
18. Jaminan terhadap kebebasan individu dalam
batas-batas tertentu, seperti:
a. kebebasan berbicara atau mengemukakan
pendapat dan pikiran;
b.
kebebasan beragama;
c.
kebebasan dari rasa takut; dan
d. kebebasan dari pada kebutuhan
(bekerja/berusaha)
19. Konstitusi / Undang-Undang Dasar /
Peraturan Perundang-undangan yang demokratis.
20. Adanya
persetujuan.
1.
Adanya pembagian kekkuasaan (sharing power).
2.
Adanya pemilihan uumum yang bebas (general election).
3. Adanya manajemen pemerintahan yang
terbuka.
4.
Adanya kebebasan individu.
5.
Adanya peradilan yang bebas.
6.
Adanya pengakuan hak minoritas.
7. Adanya pemerintahan yang berdasarkan
hukum.
8.
Adanya pers yang bebas.
9.
Adanya muti partai politik.
10. Adanya
musyawarah.
11. Adanya
persetujuan parlemen.
12. Adanya
pemerintahan yang konstitusionil.
13. Adanya ketentuan pendukung dalam sistem
demokrasi.
14. adanya pengawasan terhadap administrasi publik.
15. Adanya perlindungan hak asasi manusia.
16. Adanya
pemerintahan yang bersih (clean and good government).
17. Adanya
persaingan keahlian (profesionalitas).
18. Adanya
mekanisme politik.
19. Adanya kebijakan negara yng berkeadilan.
20. Adanya pemerintahan yang mengutamakan tanggung
jawab.
Prinsip-prinsip demokrasi yang dikemukakan oleh Sukarna dan Inu
pada prinsipnya hampir sama dalam materinya, yang membedakannya adalah dalam
hal penomoran (numerifikasi) dan sistematikanya.
Pendapat lain yang menyebutkan tentang prinsip-prinsip demokrasi ini adalah
Robert S. Dahl dengan tujuh
prinsipnya, yaitu: Pertama, kontrol atas keputusan pemerintah; kedua,
pemilihan yang teliti dan jujur; ketiga, adanya hak memilih; keempat,
adanya hak untuk dipilih; kelima, kebebasan menyatakan pendapat tanpa
ancaman; keenam, kebebasan mengakses demokrasi; ketujuh,
kebesasan berserikat.[16]
Pemikir lain yang turut serta memberikan gagasannya mengenai
prinsip-prinsip demokrasi ini adalah Lyman Tower Sargent. Menurut Sargent,
negara dapat dikualifikasikan demokrasi apabila memenuhi unsur-unsur sebagai
berikut, yaitu:[17]
1. Keterlibatan warganegara dalam pembuatan
keputusan;
2. Tingkat persamaan tertentu diantara
warganegara;
3. Tingkat kebebasan atau kemerdekaan
tertentu yang diakui dan dipakai oleh para warganegara;
4.
Suatu sistem perwakilan; dan
5. Suatu sistem pemilihan dengan kekuasaan
mayoritas.
Sedangkan menurut Masykuri Abdillah, prinsip-prinsip demokrasi
terdiri atas persamaan (Equality), kebebasan (freedom),
dan kemajemukan (pluralisme). Prinsip persamaan memberikan
penegasan bahwa setiap warganegara baik rakyat biasa ataupun pejabat mempunyai
persamaan kesempatan dan kesamaan kedudukan dimuka hukum dan pemerintahan.
Prinsip kebebasan menegaskan bahwa setiap individu warga negara atau
rakyat memiliki kebebasan menyampaikan pendapat dan membentuk perserikatan.
Prinsip pluralisme memberikan penegasan dan pengakuan bahwa keragaman
budaya, bahasa, etnis, agama pemikiran dan sebagainya merupakan conditio
sine qua non (sesuatu yang tidak bisa terelakkan).[18] Prinsip-prinsip ini harus bersinergi
antara satu dengan yang lainnya, karena kalau prinsip-prinsip ini berjalan
berjalan tanpa diikuti oleh prinsip-prinsip yang lainnya maka demokrasi tidak
akan dapat berjalan dengan baik.
Misalnya adalah demokrasi tidak akan dapat berjalan walaupun adanya
pembagian kekuasaan, tetapi tidak diikuti oleh adanya pemerintahan berdasarkan
atas hukum, atau tanpa diikuti oleh adanya partai politik yang lebih dari satu.
Karena sangat sulit dikatakan demokrasi bila tidak adanya alternatif pilihan di
luar partai politik yang telah ditentukan.
Menurut Beetham
dan Boyle, Persoalan demokrasi adalah merupakan permasalahan ukuran,
yaitu bagaimana prinsip-prinsip kendali rakyat dan kesetaraan politis
diwujudkan, dan seberapa besar partisipasi rakyat (masyarakat) dalam
pengambilan/pembuatan keputusan kolektif. Secara konvensional, suatu negara
dapat disebut demokratis bila pemerintahannya terbentuk atas kehendak rakyat
yang diwujudkan lewat pemilihan umum yang kompetitif untuk memilih orang-orang
yang akan menduduki jabatan publik, dimana semua orang dewasa mempunyai hak
yang sama untuk memilih dan dipilih, dan dimana hak-hak politis dan sipil
dijamin oleh hukum. Disebutkan juga bahwa dalam prakteknya tidak satupun negara
yang mampu mewujudkan prinsip kendali rakyat dan kesetaraan politis ini dengan
sepenuhnya.[19]
Disamping
hal-hal tersebut di atas, yang menjadi pilar atau unsur pokok tegaknya suatu
negara demokrasi sebagai tatanan kehidupan sosial politik tidak bisa dilepaskan
dari unsur penopang lainnya, yaitu: 1) negara hukum, 2) masyarakat madani (civil
society), 3) infrastruktur politik (political party), dan 4) pers
bebas yang bertanggung jawab.[20]
[1] Endang Sudardja, Politik Kenegaraan,
Karunika, Jakarta, 1986, hlm: 19
[2] Republik berasal dari gabungan dua kata
dalam bahasa Yunani, yaitu res yang berarti kepentingan, kemauan, atau
kehendak; dan publica yang berarti umum, orang banyak, atau masyarakat.
[3] Ruslan Abdulgani, Beberapa Catatan
tentang Pengamalan Pancasila dengan Penekanan kepada Tinjauan Sila ke-4 yaitu
Demokrasi Pancasila, dalam Demokrasi Indonesia Tinjauan Politik,
Sejarah, Ekonomi-Koperasi dan Kebudayaan, Yayasan Widya Patria, Yogkarta,
1995, hlm:1
[4] Ruslan Abdulgani, ibid, hlm:2
[5] Sukarna, Sistem Politik, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm: 37
[6] U. Ubaidillah, , Pendidikan
Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, IAIN Jakarta Press,
Jakarta, 2000, hlm: 162
[7] Doel, J, van den alih Bahasa R.L.L Tobing, Demokrasi
dan Teori Kemakmuran, Gelora Aksara Pratama, Jakarta, 1998, hlm: 11
[8] Moh Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar
Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta, 1999, hlm: 8
[9] Plato dan Aristoteles di Yunani serta
Polybius dan Cicero di Romawi, Plato dilahirkan pada tanggal 29 Mei 429 SM di
Athena dan meninggal pada umur 81 tahun juga di Athena, Plato merupakan murid
Socrates yang terbesar, karya yang diwariskannya adalah Politeia/State
(Negara), Politicos/Stateman (Ahli Negara), dan Nomoi/the
Law (Undang-undang/hukum). Aristoteles lahir di Stagirus dan merupakan
murid terbesar Plato, dia juga adalah guru dari Iskandar Zulkarnain (Alexandre
the Great), meninggal di Chalcis Eubua dalam usia 63 tahun. Sebelum
meninggal Plato menghasilkan karya besar yang berjudul Politica dan Ethica.
Polybius adalah seorang penulis sejarah dari Megalopolis yang mengahsilkan
karya agung tentang perputaran (ciclus) bentuk dan sistem pemerintahan dimana
dalam suatu masa tertentu suatu pemerintahan akan menjadi baik dan buruk.
Cicero merupakan ahli pikir terbesar tentang negara dan hokum dari bangsa
Romawi, karya agungnya adalah de Republica (Negara) dan de Legibus (undang-undang).
[10] N. Satria Abdi, Bahan Kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan untuk Fak. Farmasi dan FKIP Universitas Ahmad
Dahlan Yogyakarta, 2007
[11] David Beetham dan Kevin Boyle, Introduction
Democracy: 80 Questions and Answers, alih bahasa Demokrasi: 80
Tanya-Jawab, Kanisius, Yogyakarta, 2000, hlm: 21-24
[12] Umaruddin Masdar, dkk, Mengasah Naluri
Publik Memahami Nalar Politik, Lkis, Yogyakarta, 1999, hlm: 86
[13]
Moh., Mahfud MD, loc.cit, hlm: 5-6
[14] Sukarna, Sistem Politik, PT Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1990, hlm: 40-42
[15] U. Ubaidillah, , Pendidikan
Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, IAIN Jakarta Press,
Jakarta, 2000, hlm:166-169
[16] Ibid,
hlm: 169
[17]
Lyman Tower Sargent, Contemporary political Ideologies, alih bahasa
Sahat Simamora, Ideologi Politik Kontemporer, PT. Bina Aksara, Jakarta,
1986, hlm: 45
[18] U.
Ubaidillah, , Pendidikan .........., opcit, hlm: 165-166
[19]
David Beetham dan Kevin Boyle, Introduction..... loc.cit, hlm: 21
[20]
Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak
Asasi Manusia, dan masyarakat Madani, Prenada Media, Jakarta, 2003, hlm:
117
No comments:
Post a Comment