TEORI DEMOKRASI oleh N. Satria Abdi


W.A. Bonger menyatakan bahwa demokrasi bukan semata-mata bentuk ketatanegaraan saja tetapi juga merupakan bentuk kegiatan organisasi di luar ketatanegaraan, misalnya yang terdapat dalam dunia perkumpulan yang merdeka. Demokrasi dalam perkumpulan di luar ketatanegaraan adalah suatu bentuk pimpinan, suatu kolektivitet tanpa mempersoalkan apakah itu suatu pergaulan hidup paksaan seperti negara atau sutu perkumpulan yang merdeka. Sedangkan demokrasi dalam ketatanegaraan adalah suatu bentuk pemerintahan.[1] Atau dapat pula dikatakan sebagai suatu sistem politik yang seringkali dipertentangkan dengan otoriterianisme.
Zaman Yunani kuno, ada pendapat bahwa bentuk ketatanegaraan demokrasi adalah pemerintahan berbentuk republik,[2] sedangkan bentuk pemerintahan monarki bukanlah pemerintahan demokrasi. Hal ini dianggap lebih tepat menurut para pendukungnya, karena menunjuk pada suatu sistem pemerintahan oleh para wakil yang dipilih melalui pemilihan atau lebih tepatnya menunjuk pada satu tipe demokrasi, yaitu demokrasi langsung (direct democracy).
Pendapat demikian, saat ini tidak dapat dijadikan lagi sebagai alat ukur atau indikator penilaian demokratis atau tidaknya suatu pemerintahan. Karena dalam praktek dan kenyataannya tidak sedikit negara dengan bentuk pemerintahan republik memerintah secara otoriter dan totaliter, dan tidak sedikit pula negara dengan bentuk pemerintahan kerajaan (monarchy) memerintah  dengan cara-cara yang bijak dan aspiratif.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut diatas, muncul pemikiran baru tentang negara demokrasi, yaitu adanya partisipasi masyarakat dalam berbagai bentuk proses pembuatan kebijakan negara.
Dalam praktek ketatanegaraan dunia saat ini, tidak ditemukan lagi adanya negara yang mengklaim bahwa negara tersebut bukanlah negara demokrasi, terlepas dari bentuk negara, bentuk pemerintahan, maupun sistem pemerintahan yang dianut.

A.    Defenisi Demokrasi
Pengertian demokrasi dalam tinjauan bahasa (etimology) baik asal kata maupun asal bahasanya adalah gabungan dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu “Demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu wilayah, dan “Cratein” atau “Cratos  yang berarti pemerintahan atau pemerintahan/otoritas, Sehingga demokrasi sederhananya mengandung arti berarti pemerintahan rakyat atau kedaulatan/otoritas rakyat[3]. Demokrasi dalam konsep ilmu pengetahuan modern, khususnya dalam kajian politik dan hukum ketatanegaraan pertama kali dilaksanakan di negara Athena yang berbentuk polis, dimana dalam pelaksanaan pemerintahan yang berhubungan dengan kepentingan-kepentingan umum (public), masyarakat dilibatkan dalam kebijakan pengambilan keputusan. Ciri utama pemerintahan demokrasi Athena ini adalah adanya partisifasi atau keterlibatan langsung masyarakat dalam pemerintahan, tanpa melihat apakah masyarakat yang dilibatkan tersebut mengerti atau tidak. Jadi titik sentral dari pemerintahan demokrasi saat itu adalah partisifasi masyarakat dalam bidang-bidang pemerintahan sebagai dampak dari kedaulatan rakyat.
Mengingat kedaulatan itu melekat pada diri orang untuk mengatur dan mempertahankan dirinya, serta mengingat rakyat itu bukan pula satu atau dua orang, tetapi merupakan gabungan atau kumpulan dari orang-orang yang secara sadar bergabung untuk mengatur diri mereka, maka kedaulatan itu pun kemudian digabung pula. Kedaulatan rakyat ini pun bukan untuk melindungi sebagian rakyat dan menindas sebagian yang lain. Tetapi untuk melindungi keseluruhan rakyat dalam wilayah kedaulatan negara, sesuai dengan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam konstitusi.
Dalam menjalankan pemerintahan demokrasi, masing-masing negara tidaklah sama. Setiap negara mengklaim bahwa sistem penyelenggaraan pemerintahaan atau sistem politik yang mereka bangun adalah demokrasi. Indonesia merupakan negara yang mendasarkan kedaulatannya atas dasar kedaulatan rakyat disamping atas dasar kedaulatan hukum. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 sebelum perubahan, “Kedaulatan ialah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” dan bandingkan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 setelah perubahan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Ruslan Abdulgani mengutip dari buku Sejarawan Yunani Thucidides “History of the Peloponnesian War” yang juga mengutip ucapan beberapa negarawan dan ilmuwan Yunani memberikan penjelasan tentang arti materiil dari demokrasi, diantaranya:[4]
1.      Pericles, “Our constitution is named a democracy because it is in the hands not of the few, but of the many” (Konstitusi kita dinamakan demokrasi, karena kekuasaan tidak ditangan segolongan kecil, tapi ditangan banyak rakyat).
2.      Athenagores, “I say first, that the word demos, or people, include the whole state, oligarchy only a part; next, that if the best guardians of property are the richt, and the best counselors the wise, none can hear and decide so well as the many; and that all these talents, severally and collectively, have their just place in a democracy” (Bagi saya, pertama, kata demos atau rakyat mencakup seluruh negara, oligarki hanya sebagian. Kedua, apabila orang-orang kaya adalah penjaga yang terbaik bagi harta milik, dan orang-orang arif pandai adalah penasehat-penasehat terbaik, tapi tidak ada yang mengalahkan orang banyak dalam kearifan mendengar dan memutuskan. Semua kepandaian, bakat, dan akal budi itu, secara sendiri-sendiri dan kolektif, mempunyai tempat yang adil wajar dalam demokrasi)
Herts dalam bukunya Political Realism and Political Idealism sebagaimana dikutip oleh Sukarna dalam buku Sistem Politik, menyebutkan bahwa “Democracy is a form of government in which no one member, has political prerogative over any other. Government thus the rule of all over all in the common, as opposed to the individual or separate group interest),[5] yang berarti bahwa “Demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana tidak satu orangpun anggota (rakyat/kelompoknya), mempunyai hak prerogatif politik terhadap anggota (rakyat/kelompoknya) lainnya. Pemerintahan adalah dilakukan dengan aturan oleh keseluruhan anggota (rakyat/kelompoknya) untuk keseluruhan masyarakat, sebagai suatu penentangan terhadap kepentingan perseorangan atau kelompok terpisah.
 Josefh A. Schmeter menyebutkan, “demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai suatu keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk menentukan dan memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat”, sedangkan Sidney Hook, menyebutkan “demokrasi sebagai bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa”, adapun Philippe C. Schmiiter dan Terry Lynn Karl menyebutkan bahwa “demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai pertanggungjawaban atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerjasama para wakil mereka yang telah terpilih”.[6]
Pendapat lain menyebutkan bahwa demokrasi bukan sebagai suatu jenis organisasi, tetapi sebagi suatu keadaan tertentu dari kemakmuran, bukan sebagai cara memproduksi, tetapi sebagi suatu hasil produksi. Menurut Braybroooks, demokrasi adalah hasil dari segala sesuatu yang diinginkan: “personal right, human welfare, collective preference”. Ini adalah juga konsepsi marxis-leninis dari demokrasi. Suatu perekonomian seperti perekonomian Soviet disebut demokrasi rakyat, karena produksi dianggap mengabdi pada seluruh rakyat.[7]
Dari pendapat para ahli di atas terdapat benang merah atau titik singgung tentang pengertian demokrasi, yaitu rakyat sebagai pemegang kekuasaan, pembuat dan penentu keputusan dan kebijaksanaan tertinggi dalam penyelenggaran negara dan pemerintahan serta pengontrol terhadap pelaksanaan kebijakannya baik yang dilaksanakan secara langsung oleh rakyat atau mewakilimya melalui lembaga perwakilan. Karena itu negara yang menganut sistem demokrasi diselengarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat mayoritas serta tidak mengesampingkan rakyat minoritas.
Moh. Mahfud MD menyatakan bahwa negara yang negara yang menganut asas demokrasi, maka kekuasaan pemerintah berada di tangan rakyat. Pada negara yang menganut asas demokrasi ini didalamnya mengandung unsur; pemerintahan dari rakyat (government of the people), pemerintahan oleh rakyat (government by the people), dan pemerintahan untuk rakyat (government for the people).[8]

B.     Sejarah dan Perkembangan Demokrasi
Demokrasi sebagai suatu konsep dan pemikiran pada dasarnya dimulai dengan lahir dan berkembang di Yunani Kuno, yaitu dengan pencetusan gagasan (idea) pada tahun 431 SM oleh seorang filosof besarnya Pericles. Beberapa filosof lain setelahnya baik di Yunani sendiri maupun di Romawi seperti;[9] Plato (429-347 SM), Aristoteles (384-322 SM), Polybius (204-122 SM), dan Cicero (106-43 SM) turut pula  menyempurnakan konsep ini. Meskipun sedemikian tuanya konsep dan pemikiran ini dalam prakteknya selama ratusan tahun, tidak tertalu menarik perhatian untuk dipraktekkan dalam pemerintahan dan kenegaraan.
Sejarah dan perkembangan demokrasi berikutnya ditandai dengan munculnya aufklarung dan renaissance di dunia barat pada abad pertengahan setelah sedemikian lama berada dalam masa-masa kegelapan (the dark ages) dalam bayang-bayang kekuasaan mutlak (absolute power) gereja dan kerajaan.
Lahirnya para filosof seperti, Niccolo Machiaveli (1467-1527), Thomas Hobbes (1588-1679), Jhon Locke (1632-1704), Montesquea (1689-1755), Jean Jackues (J.J) Rousseau (1712-1778), dan lain sebagainya yang mengusung pemikiran demokrasi sebagai reaksi atas kesewenang-wenangan raja turut pula memunculkan kembali (reborn) tentang pentingnya penerapan demokrasi beserta prinsip-prinsipnya dalam berbagai sisi kehidupan, utamanya kehidupan bernegara.
Revolusi Perancis pada tahun 1778 yang terkenal dengan semboyan, “kebebasan, persaudaraan, dan persamaan” yang dalam bahasa Perancisnya dikenal dengan, “liberte, fraternite, eyahte” merupakan tonggak utama penerapan dcemokrasi di daratan eropa. Hal ini disebabkan karena Perancis dengan secara sadar memasukkan demokrasi ke dalam undang-undang dasarnya di bawah judul atau bab tentang hak-hak asasi manusia, pada Pasal 3, “Rakyat adalah sumber dan gudang kekuasaan”. Setiap lembaga atau individu yang memegang kekuasaan, tidak lain mengambil kekuasannya dari rakyat. Berikutnya, ketentuan pasal tersebut dimuat kembali pada perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1791, dimana disebutkan bahwa tahta kepemimpinan adalah milik rakyat.

C.    Proposisi Memilih Demokrasi
Robert A. Dahl dalam bukunya “On Democracy”, menyebutkan terdapat 10 (sepuluh) proposisi mengapa harus memilih demokrasi:[10]
1.      demokrasi mencegah sistem pemerintahan yang keji dan sewenang-wenang;
2.      demokrasi menjamin hak-hak fundamental warga negaranya, yang oleh sistem lain sering dikesampingkan;
3.      demokrasi lebih menjamin kebebasan warga negara;
4.      demokrasi membantu warga negaranya melindungi kepentingan fundamentalnya;
5.      demokrasi memberikan kesempatan lebih luas bagi warganya untuk menentukan nasib sendiri, hidup sesuai pilihannya berdasarkan hukum;
6.      demokrasi melakukan tanggung jawab moral;
7.      demokrasi menjamin perkembangan kemanusiaan;
8.      demokrasi  menjamin kesetaraan politik  yang lebih tinggi atas warganya;
9.      demokrasi suka menghindari perang terhadap negara lain; dan
10.  demokrasi cenderung lebih makmur.

Beetham dan Boyle, menyatakan minimum terdapat 5 (lima) alasan mengapa demokrasi harus dipilih dan dijunjung tinggi, yaitu: pertama, adanya kesetaran antara warganegara; kedua, adanya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan umum; ketiga, adanya pluralisme dan kompromi; keempat, adanya jaminan terhadap hak-hak dasar; dan kelima, adanya pembauran kehidupan sosial.[11]
Amien Rais dalam pengantar buku Demokrasi dan Proses Politik, seperti dikutip oleh Umaruddin Masdar menyebutkan ada tiga asumsi yang membuat demokrasi diterima secara luas di dunia. Pertama, demokrasi tidak saja merupakan bentuk vital dan terbaik pemerintahan yang mungkin diciptakan, tetapi juga merupakan suatu doktrin politik luhur yang akan memberikan manfaat bagi kebanyakan negara. Kedua, dsemokrasi sebagai sistem politik dan pemerintahan dianggap mempunyai akar sejarah yang panjang sampai ke zaman Yunani Kuno, sehingga ia tahan bantingan zaman dan dapat menjamin terselenggaranya suatu lingkungan politik yang stabil. Ketiga, demokrasi dipandang sebagai sistem yang paling alamiah dan manusiawi sehingga semua rakyat dinegara manapun akan memilih demokrasi bila mereka diberi kebebasan untuk melakukan pilihannya.[12]
Moh. Mahfud MD, menyebutkan setidaknya terdapat dua alasan mengapa demokrasi dijadikan sebagai dasat dalam penyelenggaraan negara atau pemerintahan, Pertama, hampir semua negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas yang fundamental; Kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan yang secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggaraakan negara sebagai organisasi tertingginya.[13]

D.    Prinsip-prinsip Demokrasi
Penggunaan kata prinsip, untuk menjelaskan indikator atau prasyarat yang harus dipenuhi bagi kualifikasi demokratis atau tidaknya suatu negara antara pemikir satu dengan lainnya tidaklah sama, sebagian lagi menggunakan istilah unsur-unsur. Disamping adanya perbedaan istilah yang dipakai, perbedaan lain juga dapat dilihat dari jumlah unsur atau prinsip yang ditawarkan.
Menurut Sukarna, dalam suatu negara demokrasi harus memenuhi prinsip, prinsip sebagai berikut, yaitu:[14]
1.      Pembagian kekuasaan: kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif berada pada badan yang berbeda.
2.      Pemerintahan konstitusionil.
3.      Pemerintahan berdasarkan hukum.
4.      Pemerintahan mayoritas.
5.      Pemerintahan dengan dialog.
6.      Pemilihan umum yang bebas.
7.      Partai politik lebih dari satu dan menjalankan fungsinya, yaitu:
a.       mencalonkan kandidat;
b.      membina pendapat masyarakat;
c.       menarik rakyat untuk memilih;
d.      mengkritik penguasa;
e.       memilih orang-oramg yang akan diangkat dalam pemerintahan;
f.       melakukan pendidikan politik;
g.      memilih pemimpi-pemimpin politik;
h.      memadukan pemikiran-pemikiran politik;
i.        melakukan sosialisasi politik;
j.        menyelesaikan perselisihan-perselisihan;
k.      mempersatukan pemerintahan; dan
l.        mempertanggungjawabkan pemerintahan.
8.      Manajemen terbuka (tranfarancy):
a.       ikut sertanya masyarakat dalam urusan pemerintahan;
b.      mempertanggungjawabkan pemerintah terhadap rakyat;
c.       adanya dukungan rakyat terhadap pemerintah; dan
d.      adanya pengawasan rakyat terhadap pemerintah.
9.      Pers yang bebas.
10.  Pengakuan terhadap hak-hak minoritas.
11.  Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.
12.  Peradilan yang bebas dan tidak memihak.
13.  Pengawasan terhadap adminisdtrasi negara.
14.  Mekanisme politik yang berubah antara kehidupan politik masyarakat dan kehidupan politik pemerintah.
15.  Kebijaksanaan negara dibuat oleh badan perwakilan politik tanpa paksaan dari badan lain.
16.  Penempatan pejabat-pejabat dalam pemerintahan dengan merit system bukan spoil system.
17.  Penyelesaiaan perpecahan secara damai atau secara kompromi.
18.  Jaminan terhadap kebebasan individu dalam batas-batas tertentu, seperti:
a.       kebebasan berbicara atau mengemukakan pendapat dan pikiran;
b.      kebebasan beragama;
c.       kebebasan dari rasa takut; dan
d.      kebebasan dari pada kebutuhan (bekerja/berusaha)
19.  Konstitusi / Undang-Undang Dasar / Peraturan Perundang-undangan yang demokratis.
20.  Adanya persetujuan.

Inu Kencana syafi’i, prinsip-prinsip demokrasi adalah sebagai berikut:[15]
1.      Adanya pembagian kekkuasaan (sharing power).
2.      Adanya pemilihan uumum yang bebas (general election).
3.      Adanya manajemen pemerintahan yang terbuka.
4.      Adanya kebebasan individu.
5.      Adanya peradilan yang bebas.
6.      Adanya pengakuan hak minoritas.
7.      Adanya pemerintahan yang berdasarkan hukum.
8.      Adanya pers yang bebas.
9.      Adanya muti partai politik.
10.  Adanya musyawarah.
11.  Adanya persetujuan parlemen.
12.  Adanya pemerintahan yang konstitusionil.
13.  Adanya ketentuan pendukung dalam sistem demokrasi.
14.  adanya pengawasan terhadap administrasi publik.
15.  Adanya perlindungan hak asasi manusia.
16.  Adanya pemerintahan yang bersih (clean and good government).
17.  Adanya persaingan keahlian (profesionalitas).
18.  Adanya mekanisme politik.
19.  Adanya kebijakan negara yng berkeadilan.
20.  Adanya pemerintahan yang mengutamakan tanggung jawab.

Prinsip-prinsip demokrasi yang dikemukakan oleh Sukarna dan Inu pada prinsipnya hampir sama dalam materinya, yang membedakannya adalah dalam hal penomoran (numerifikasi) dan sistematikanya.
Pendapat lain yang menyebutkan tentang prinsip-prinsip demokrasi ini adalah Robert S. Dahl  dengan tujuh prinsipnya, yaitu: Pertama, kontrol atas keputusan pemerintah; kedua, pemilihan yang teliti dan jujur; ketiga, adanya hak memilih; keempat, adanya hak untuk dipilih; kelima, kebebasan menyatakan pendapat tanpa ancaman; keenam, kebebasan mengakses demokrasi; ketujuh, kebesasan berserikat.[16]
Pemikir lain yang turut serta memberikan gagasannya mengenai prinsip-prinsip demokrasi ini adalah Lyman Tower Sargent. Menurut Sargent, negara dapat dikualifikasikan demokrasi apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut, yaitu:[17]
1.      Keterlibatan warganegara dalam pembuatan keputusan;
2.      Tingkat persamaan tertentu diantara warganegara;
3.      Tingkat kebebasan atau kemerdekaan tertentu yang diakui dan dipakai oleh para warganegara;
4.      Suatu sistem perwakilan; dan
5.      Suatu sistem pemilihan dengan kekuasaan mayoritas.

Sedangkan menurut Masykuri Abdillah, prinsip-prinsip demokrasi terdiri atas persamaan (Equality), kebebasan (freedom), dan kemajemukan (pluralisme). Prinsip persamaan memberikan penegasan bahwa setiap warganegara baik rakyat biasa ataupun pejabat mempunyai persamaan kesempatan dan kesamaan kedudukan dimuka hukum dan pemerintahan. Prinsip kebebasan menegaskan bahwa setiap individu warga negara atau rakyat memiliki kebebasan menyampaikan pendapat dan membentuk perserikatan. Prinsip pluralisme memberikan penegasan dan pengakuan bahwa keragaman budaya, bahasa, etnis, agama pemikiran dan sebagainya merupakan conditio sine qua non (sesuatu yang tidak bisa terelakkan).[18] Prinsip-prinsip ini harus bersinergi antara satu dengan yang lainnya, karena kalau prinsip-prinsip ini berjalan berjalan tanpa diikuti oleh prinsip-prinsip yang lainnya maka demokrasi tidak akan dapat berjalan dengan baik.
Misalnya adalah demokrasi tidak akan dapat berjalan walaupun adanya pembagian kekuasaan, tetapi tidak diikuti oleh adanya pemerintahan berdasarkan atas hukum, atau tanpa diikuti oleh adanya partai politik yang lebih dari satu. Karena sangat sulit dikatakan demokrasi bila tidak adanya alternatif pilihan di luar partai politik yang telah ditentukan.
Menurut Beetham dan Boyle, Persoalan demokrasi adalah merupakan permasalahan ukuran, yaitu bagaimana prinsip-prinsip kendali rakyat dan kesetaraan politis diwujudkan, dan seberapa besar partisipasi rakyat (masyarakat) dalam pengambilan/pembuatan keputusan kolektif. Secara konvensional, suatu negara dapat disebut demokratis bila pemerintahannya terbentuk atas kehendak rakyat yang diwujudkan lewat pemilihan umum yang kompetitif untuk memilih orang-orang yang akan menduduki jabatan publik, dimana semua orang dewasa mempunyai hak yang sama untuk memilih dan dipilih, dan dimana hak-hak politis dan sipil dijamin oleh hukum. Disebutkan juga bahwa dalam prakteknya tidak satupun negara yang mampu mewujudkan prinsip kendali rakyat dan kesetaraan politis ini dengan sepenuhnya.[19]
Disamping hal-hal tersebut di atas, yang menjadi pilar atau unsur pokok tegaknya suatu negara demokrasi sebagai tatanan kehidupan sosial politik tidak bisa dilepaskan dari unsur penopang lainnya, yaitu: 1) negara hukum, 2) masyarakat madani (civil society), 3) infrastruktur politik (political party), dan 4) pers bebas yang bertanggung jawab.[20]




[1] Endang Sudardja, Politik Kenegaraan, Karunika, Jakarta, 1986,  hlm: 19
[2] Republik berasal dari gabungan dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu res yang berarti kepentingan, kemauan, atau kehendak; dan publica yang berarti umum, orang banyak, atau masyarakat.
[3] Ruslan Abdulgani, Beberapa Catatan tentang Pengamalan Pancasila dengan Penekanan kepada Tinjauan Sila ke-4 yaitu Demokrasi Pancasila, dalam Demokrasi Indonesia Tinjauan Politik, Sejarah, Ekonomi-Koperasi dan Kebudayaan, Yayasan Widya Patria, Yogkarta, 1995, hlm:1
[4] Ruslan Abdulgani, ibid, hlm:2
[5] Sukarna, Sistem Politik, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm: 37
[6] U. Ubaidillah, , Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, IAIN Jakarta Press, Jakarta, 2000, hlm: 162
[7] Doel, J, van den alih Bahasa R.L.L Tobing, Demokrasi dan Teori Kemakmuran, Gelora Aksara Pratama, Jakarta, 1998, hlm: 11
[8] Moh Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta, 1999, hlm: 8
[9] Plato dan Aristoteles di Yunani serta Polybius dan Cicero di Romawi, Plato dilahirkan pada tanggal 29 Mei 429 SM di Athena dan meninggal pada umur 81 tahun juga di Athena, Plato merupakan murid Socrates yang terbesar, karya yang diwariskannya adalah Politeia/State (Negara), Politicos/Stateman (Ahli Negara), dan Nomoi/the Law (Undang-undang/hukum). Aristoteles lahir di Stagirus dan merupakan murid terbesar Plato, dia juga adalah guru dari Iskandar Zulkarnain (Alexandre the Great), meninggal di Chalcis Eubua dalam usia 63 tahun. Sebelum meninggal Plato menghasilkan karya besar yang berjudul Politica dan Ethica. Polybius adalah seorang penulis sejarah dari Megalopolis yang mengahsilkan karya agung tentang perputaran (ciclus) bentuk dan sistem pemerintahan dimana dalam suatu masa tertentu suatu pemerintahan akan menjadi baik dan buruk. Cicero merupakan ahli pikir terbesar tentang negara dan hokum dari bangsa Romawi, karya agungnya adalah de Republica (Negara) dan de Legibus (undang-undang).
[10] N. Satria Abdi, Bahan Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan untuk Fak. Farmasi dan FKIP Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, 2007
[11] David Beetham dan Kevin Boyle, Introduction Democracy: 80 Questions and Answers, alih bahasa Demokrasi: 80 Tanya-Jawab, Kanisius, Yogyakarta, 2000, hlm: 21-24
[12] Umaruddin Masdar, dkk, Mengasah Naluri Publik Memahami Nalar Politik, Lkis, Yogyakarta, 1999, hlm: 86
[13] Moh., Mahfud MD, loc.cit, hlm: 5-6
[14] Sukarna, Sistem Politik, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm: 40-42
[15] U. Ubaidillah, , Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, IAIN Jakarta Press, Jakarta, 2000, hlm:166-169
[16] Ibid, hlm: 169
[17] Lyman Tower Sargent, Contemporary political Ideologies, alih bahasa Sahat Simamora, Ideologi Politik Kontemporer, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1986, hlm: 45
[18] U. Ubaidillah, , Pendidikan .........., opcit, hlm: 165-166
[19] David Beetham dan Kevin Boyle,  Introduction..... loc.cit, hlm: 21
[20] Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan masyarakat Madani, Prenada Media, Jakarta, 2003, hlm: 117

No comments: